Dalam beberapa tahun terakhir, tokoh-tokoh di industri teknologi telah mengambil peran yang hampir mesianik, mempromosikan konsep seperti altruisme efektif dan biohacking sebagai solusi untuk tantangan terbesar umat manusia. Greg Epstein, seorang kapelan humanis, mencatat bahwa tren ini mewakili pelukan tentatif Silicon Valley terhadap teologi. Namun, telah terjadi pergeseran signifikan di mana para teknolog berpengaruh kini mendorong agama tradisional daripada teknologi sebagai pengganti iman.

Tahun ini, sebuah acara di sebuah kondominium gereja yang diubah di San Francisco menampilkan seorang pemodal ventura yang membacakan Doa Bapa Kami kepada audiens penggemar teknologi, terinspirasi oleh pidato dari Peter Thiel. Pertemuan ini, yang diselenggarakan oleh ACTS 17 Collective, bertujuan untuk mengintegrasikan nilai-nilai Kristen ke dalam komunitas teknologi, bergerak melampaui solusi sederhana yang sering diasosiasikan dengan teknologi.

Saat diskusi tentang iman muncul kembali di antara para pemimpin teknologi, beberapa mulai membagikan sentimen religius di media sosial. Elon Musk dan pemodal ventura Jason Calacanis keduanya telah mengungkapkan iman mereka secara publik, menyarankan kemungkinan rekonsiliasi antara kapitalisme yang kejam dan spiritualitas. Keterbukaan baru ini mungkin menandakan harapan untuk penerimaan yang lebih luas terhadap keyakinan religius di industri teknologi.

Di tengah perkembangan ini, peran kecerdasan buatan telah muncul sebagai topik perdebatan. Anthony Levandowski, salah satu pendiri Waymo, sebelumnya mendirikan Gereja AI, mengusulkan bahwa AI harus dihormati sebagai Tuhan. Gagasan ini menimbulkan pertanyaan tentang sifat AI dan kemampuannya. Sementara beberapa melihat AI sebagai entitas ilahi, yang lain berpendapat bahwa ia pada dasarnya adalah buatan manusia dan karenanya rentan.

Vatikannya juga telah memberikan pandangannya tentang implikasi AI, memperingatkan para pemimpin teknologi tentang potensi bahaya yang ditimbulkannya. Diskusi terbaru telah membingkai AI sebagai revolusi industri baru yang dapat menantang martabat dan keadilan manusia. Pada akhirnya, meskipun AI mungkin tampak ajaib, ia adalah produk dari data dan kreativitas manusia, menjadikannya jelas bahwa ia tidak dapat menggantikan yang ilahi. Kompleksitas AI mencerminkan sifat manusia kita sendiri, mengingatkan kita bahwa ketidaksempurnaan adalah bagian yang melekat dari keberadaan.