Film terbaru Guillermo del Toro, sebuah adaptasi dari novel Frankenstein karya Mary Shelley yang diterbitkan pada tahun 1818, menunjukkan keterhubungannya yang mendalam dengan materi sumber. Del Toro, yang telah lama berusaha untuk menghidupkan cerita ini, telah menciptakan pengalaman sinematik yang rumit yang mencerminkan hasratnya terhadap narasi tersebut. Film ini, yang saat ini tayang di bioskop tertentu dan dijadwalkan tayang perdana di Netflix pada 7 November, berfungsi sebagai penghormatan kepada monster yang disalahpahami, tema yang sering muncul dalam karya del Toro.

Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, del Toro membagikan wawasan tentang akhir film, yang menampilkan kutipan dari Lord Byron: "Hati akan patah, namun tetap hidup dalam kepatahan." Ia menjelaskan bahwa film ini mengaitkan elemen biografi pribadinya dengan Shelley, menyoroti konteks sejarah Perang Napoleon yang mempengaruhi para penulis Romantis. Del Toro menekankan sifat pribadi film ini, menyarankan bahwa film ini mencerminkan baik perjuangan karakter maupun pengalamannya sendiri dengan kehilangan dan ketahanan.

Del Toro juga membahas relevansi Frankenstein di dunia saat ini, terutama dalam konteks ambisi ilmiah dan batasan etika. Ia berargumen bahwa cerita ini bukan anti-sains, melainkan sebuah refleksi tentang pencarian pemahaman manusia dan konsekuensi dari bermain Tuhan. Ia menarik paralel antara karakter Victor Frankenstein dan tokoh-tokoh kontemporer, termasuk politisi dan pengusaha teknologi, yang menunjukkan arogansi dan sikap korban yang serupa.

Sutradara ini mengungkapkan kekhawatirannya tentang kecerdasan buatan dalam seni, menyatakan bahwa ia tidak percaya itu adalah sesuatu yang diminta orang. Ia mengkritik konsumsi konten yang dihasilkan oleh AI dan mengungkapkan keinginannya untuk melihat perbedaan yang jelas antara kreativitas manusia dan seni yang dihasilkan mesin. Del Toro menyatakan harapannya untuk meninggal sebelum seni AI menjadi arus utama, menunjukkan preferensinya untuk ekspresi artistik tradisional.

Melihat ke depan, del Toro membagikan rencananya untuk proyek-proyek mendatang, termasuk adaptasi stop-motion dari The Buried Giant karya Kazuo Ishiguro. Ia bertujuan untuk mengangkat medium stop motion untuk mengeksplorasi tema yang lebih dewasa, bergerak melampaui narasi anak-anak. Saat ia terus berinovasi dalam industri film, del Toro tetap berkomitmen untuk menciptakan seni yang beresonansi dengan kebenaran emosional yang mendalam dan mencerminkan kompleksitas sifat manusia.